Dewasa ini kita sering mendengar istilah-istilah baru dalam program penanganan virus COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Contohnya saja seperti lockdown wilayah, PSBB, hingga yang terbaru adalah PPKM. Tapi sebenarnya apa itu PPKM? Apakah hanya sebuah istilah baru dari aturan yang digunakan pemerintah untuk mengganti istilah lama agar masyarakat tidak bosan mendengarnya? Usut punya usut, melansir dari suara.com PPKM merupakan singkatan dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. PPKM sendiri diartikan sebagai peraturan yang diterapkan dengan tujuan agar dapat mengurangi penyebaran virus corona karena mobilitas dan kegiatan masyarakat di luar rumah berkurang.
Lantas mengapa pemerintah sampai menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat? Mulanya pemerintah Indonesia mengeluarkan istilah baru PPKM pasca libur natal dan tahun baru (Nataru). Kebijakan itu khusus diterapkan di tujuh provinsi Jawa-Bali sejak 11 Januari 2021 selama dua pekan dan sempat diperpanjang satu kali. Kebijakan ini disebut PPKM Jawa-Bali. Dalam pelaksanaan PPKM Jawa-Bali, pemerintah memberlakukan aturan bekerja dari rumah atau WFH 75 persen, serta belajar secara daring. Selanjutnya, restoran menerima makan ditempat dengan kapasitas maksimal 25 persen, pusat perbelanjaan beroperasi maksimal pukul 19.00 WIB, hingga aturan perjalanan menggunakan PCR/ antigen. Selain itu, pemerintah mengatur agar tempat ibadah boleh dibuka dengan kapasitas maksimal 50 persen, lalu sektor esensial bisa beroperasi 100 persen dengan pembatasan jam operasional dan juga kapasitas pengunjung. Akan tetapi, karena penerapan aturan PPKM Jawa-Bali dirasa kurang efektif, maka pemerintah mengeluarkan aturan baru yang disebut PPKM mikro. Pada penerapannya, PPKM mikro hampir sama dengan dengan PPKM Jawa-Bali. Namun, cangkupan wilayahnya tidak hanya di Jawa dan Bali melainkan di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, pemberlakuan aturan PPKM ini tidak hanya berhenti dengan istilah itu saja. Hal ini dikarenakan jumlah kasus COVID-19 yang terus meningkat membuat aturan PPKM diperketat. Selain itu, istilah penyebutannya juga diperbaharui lagi, mulai dari PPKM darurat hingga PPKM level 4.
Namun demikian, dari sekian banyak istilah yang digunakan untuk menyebut aturan pembatasan kegiatan masyarakat kita melihat bahwa sampai saat ini lonjakan jumlah pasien positif COVID-19 tetap tinggi tiap harinya. Jika dilihat dari segi peningkatan jumlah pasien positif tersebut kita bisa mengatakan bahwa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat oleh pemerintah tidak cukup efektif. Selain itu, dari segi ekonomi penerapan aturan ini dirasa merugikan banyak kalangan khususnya pelaku usaha di Indonesia. Pembatasan yang dilakukan menyebabkan berkurangnya aktvitas masyarakat. Hal ini berdampak pada menurunnya intensitas kegiatan ekonomi dimana salah satunya adalah penurunan tingkat konsumsi masyarakat. Dengan demikian, perekonomian di Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan yang cukup signifikan.
Selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sektor yang paling terdampak adalah UMKM, kemudian hotel, restoran dan pariwisata. Contohnya saja, pedagang kaki lima kini banyak yang gulung tikar akibat sepi pembeli semenjak adanya pembatasan. Pedagang baju seragam sekolah mengeluhkan penurunan omset penjualan dikarenakan kini siswa tak banyak yang membeli seragam sekolah. Hal ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari penerapan pembelajaran secara online sehingga siswa tidak diwajibkan untuk berseragam. Selain itu, seiring dengan diperpanjangnya masa penerapan PPKM ini masyarakat menjadi tidak acuh karena tidak bisa berdiam diri terlalu lama sedangkan pemasukan keuangannya terus menipis. Sementara itu, dari pihak pemerintah sendiri juga mengalami masalah keuangan dimana dengan menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat, pemasukan anggaran negara juga menurun.
Di sisi lain, pengeluaran yang digelontorkan pemerintah selama masa pandemi ini juga tidak sedikit. Selain untuk penanganan wabah virus COVID-19, pemerintah juga harus mengeluarkan anggaran untuk keperluan rumah tangganya. Hal ini menimbulkan fenomena besar pasak daripada tiang, yang biasa kita artikan sebagai keadaan dimana pengeluaran jauh lebih besar daripada pemasukan. Jika masalah ini terjadi dalam kurun waktu yang lama, tidak menutup kemungkinan jika negara akan mengalami kebangkrutan atau kolaps. Belum lagi jika sampai negara nekat untuk berhutang pada negara lain, maka hal ini akan menimbulkan masalah baru. Mengapa demikian? Karena seperti yang kita ketahui, berdasarkan informasi yang dilansir dari kompas.com, cnbcindonesia,com, serta platform berita online terpercaya lainnya. Saat ini Indonesia sudah masuk dalam daftar 10 negara dengan utang terbanyak di dunia. Apabila pemerintah terus melakukan pinjaman ke luar negeri, dikhawatirkan negara kita tidak akan mampu untuk membayar hutang serta bunganya sesuai tenggat waktu yang telah diberikan. Hal ini cukup masuk akal jika dilihat dari perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia yang terbilang cukup lambat dan perlu waktu lama untuk memulihkan keadaannya.
Selain kerugian dari segi perekonomian, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ini dinilai merugikan dari segi pendidikan. Seperti yang kita ketahui, mulai dari awal tahun 2020 atau saat kasus pertama COVID-19 ditemukan di Indonesia. Kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di instansi pendidikan ditangguhkan hingga saat ini. Sudah genap 2 tahun para pelajar baik itu siswa sekolah dasar hingga mahasiswa perguruaan tinggi menjalani pembelajaran secara daring. Hal ini dirasa sangat merugikan karena para pelajar tidak bisa dengan leluasa bertatap muka dengan guru maupun teman sebayanya. Aktivitas pembelajaran yang seharusnya digunakan sebagai wadah pembentukan jiwa sosial yang berintelektual menjadi tidak dapat dilaksakan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya minat pelajar untuk bersosialisasi karena setiap hari hanya berada di dalam rumah untuk melakukan pertemuan secara maya dengan orang lain. Contoh nyata lainnya adalah minimnya penguasaan praktik kerja karena terbatasnya akses pembelajaran. Bukan tanpa alasan, pembelajaran online menjadikan siswa tidak dapat menerapkan teori yang mereka dapatkan karena tidak adanya kesempatan tatap muka yang cukup. Apabila hal ini terus terjadi, generasi bangsa dikhawatirkan tidak memiliki kecakapan yang mumpuni untuk bisa bersaing dalam dunia kerja. Bagaimana jadinya bila generasi kita tidak mampu menghadapi revolusi industri 4.0? Dari pemaparan di atas, kita bisa mengetahui bahwa penerapan PPKM tidaklah efektif. Dalam hal ini, kita lebih baik menerapkan protokol kesehatan dengan benar tanpa harus melakukan pembatasan aktivitas masyarakatnya. Selain itu, pemerintah juga harus segera melakukan vaksinasi massal untuk mengurangi dampak buruk virus COVID-19. Bisa saja dengan mengumpulkan masyarakat namun harus menerapkan prokes yang benar, atau mungkin vaksinasi dengan metode jemput bola “door to door” agar semua masyarakat dapat terjangkau vaksin. Apabila angka masyarakat yang telah divaksin mencapai 70-80% total masyarakat Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi dan penuntasan berbagai masalah sosial akibat pandemi COVID-19, semoga dapat teratasi.
Oleh : Meidiana Hana Putri