Masa Sulit Jangan Mempersulit [KAJIAN AKTIVIS]

Pada 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo melaporkan kasus COVID-19, 2 orang terkonfirmasi positif, yakni perempuan berusia 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun. Penanganan COVID-19 di Indonesia terbilang cukup terlambat karena adanya mitos bahwa Indonesia kebal COVID-19. Setelah terdapat berita terkonfirmasi COVID-19, pemerintah Indonesia masih membuka jalur penerbangan, tentunya hal tersebut meningkatkan resiko terpapar COVID-19.

Setelah lonjakan kasus COVID-19 di Jakarta, pemerintah DKI Jakarta menetapkan langkah awal dengan menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) total mulai 10 April 2020. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka diprediksi rumah sakit di daerah Jakarta akan penuh. Terbukti dengan adanya PSBB, kasus COVID-19 di Jakarta sudah mulai membaik. Berkaca pada penanganan COVID-19 di Jakarta, pemberlakuan pembatasan ini dianggap menjadi langkah yang tepat untuk mengurangi kasus COVID-19 di daerah luar Jakarta.

Pada dasarnya pemerintah enggan untuk melakukan lockdown/karantina wilayah karena dianggap membutuhkan biaya lebih besar, mereka memilih untuk melakukan pembatasan dengan versinya sendiri. Terhitung dari awal pandemi, pemerintah sudah menerapkan 5 versi pembatasan kegiatan. Dimulai dari PSBB, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM mikro hingga PPKM Level.

Namun, ironinya pelaksanaan pembatasan ini masih semrawut, rakyat enggan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Banyak masyarakat yang masih tidak menerapkan prokes. Pada awalnya, pemerintah hanya mengajak secara baik untuk taat protokol kesehatan. Namun, realitanya mereka abai dengan ajakan tersebut sehingga kebijakan pemerintah terkesan kurang tegas. Ketika pemerintah mulai tegas rakyat protes karena merasa diperlakukan kurang baik padahal, bukankah dari awal mereka sudah diingatkan dengan baik?

 Namun, tak jauh beda dengan pemerintah atau pejabat yang menetapkan kebijakan juga abai dengan prokes. Bahkan pejabat berkerumun, bepergian ke luar negeri, pulang tidak mau karantina. Bagaimana rakyat dapat taat apabila pembuat kebijakan juga abai dengan kebijakannya sendiri? Pada nyatanya sama saja, Indonesia telah mencapai herd stupidity.

Lucunya, pemerintah dan rakyat saling menyalahkan terhadap kegagalan ini. Pemerintah menyalahkan rakyat kecil yang tak mau taat prokes padahal pejabatnya pun sama saja. Dengan saling menyalahkan apakah semua masa sulit ini dapat terlewati? Saya yakin saling lempar kesalahan hanya mempersulit keadaan. Hasilnya, pada 17 Juli kasus COVID-19 rata-rata 7 hari mencapai 44.721. padahal kebijakan PPKM sudah dikeluarkan, tetapi hasil nihil karena acuh terhadap kebijakan yang ada.

Oleh karena adanya lonjakan kasUS, negara kembali mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk perawatan COVID-19. Pemerintah harus ekstra pengeluaran lagi untuk pencegahan penyebaran COVID-19 dengan mengadakan PPKM kembali. Perlu biaya yang besar untuk mengeluarkan kebijakan ini, pemerintah tidak hanya mengeluarkan biaya untuk rumah sakit tetapi juga biaya bantuan masyarakat yang terdampak PPKM. Secara terpaksa negara harus berhutang kembali ke luar negeri karena mencari dana besar dalam waktu singkat tidak mudah, ekonomi di Indonesia pun tengah mengalami krisis. 

Tidak hanya pemerintah yang cukup dirugikan, sektor ekonomi juga mengalami kerugian cukup besar karena pandemi ini. Kegiatan produksi tersendat karena banyaknya pegawai yang terkena wabah, negara yang enggan melakukan ekspor karena kasus pandemi Indonesia cukup parah, pada akhirnya kegiatan produsen terganggu karena terhambatnya SDM dan SDA. Kegiatan konsumsi pun terganggu karena konsumen tidak berani untuk beraktivitas bebas di luar, kegiatan konsumsi tidak dapat berjalan seperti biasanya. Kegiatan distribusi tidak hanya terhambat di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Tentunya pandemi sangat merugikan sektor ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya langkah yang diambil untuk mencegah pandemi ini semakin parah, sehingga pemerintah menerapkan kebijakan PPKM level dengan aturan yang lebih ketat. Hingga hari ini kasus COVID-19 di Indonesia sudah mengalami perubahan yang cukup baik. Terhitung sejak 3 September 2021 kasus COVID-19 rata-rata per 7 hari tersisa 8.648. Dengan keadaan yang mulai membaik ini, ekonomi sudah dapat sedikit bergerak daripada sebelumnya, pelayanan kesehatan pun sudah mulai membaik sehingga kesejahteraan masyarakat pun menjadi lebih baik lagi. Tentunya jika kesejahteraan membaik, kegiatan ekonomi pun dapat dibangun kembali. Keberhasilan ini karena adanya ketegasan pemerintah dan kesadaran masyarakat untuk mulai peduli dengan kebijakan pemerintah.  Dari perubahan ini, menyadarkan kita pentingnya kepedulian untuk bekerja sama mencegah pandemi ini. Saling menyalahkan tanpa introspeksi diri hanya mempersulit keadaan.

Oleh : Ikrima Tasmida

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *