Bintang Malam – Cerita Pendek – Pena Kreatif UKIMERS

Bintang Malam
karya : Alifia Ulya Handari (Anggota UKIM)

Di desa kecil di kaki gunung yang dikelilingi oleh sawah-sawah hijau, hiduplah seorang pemuda tangguh, dengan tubuh yang tidak besar dan kulit sawo matang. Setiap kali setelah pulang dari pekerjaannya di ladang, pemuda yang dipanggil warga desa dengan sebutan Rama, gemar sekali memandang langit malam di tengah hamparan padi yang sunyi.

Suatu malam, setelah mengumpulkan sebagian padi di ladang, Rama duduk sendirian di tepi sawah. Langit malam terbentang luas di atasnya, dipenuhi dengan taburan bintang-bintang yang bersinar dengan indahnya. Suara angin sepoi-sepoi mengayun tanaman padi yang menguning, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Rama duduk dengan kaki terjuntai di air yang mengalir perlahan di tepi sawah. Dia memandangi langit malam yang gelap membiarkan pikirannya melesat menuju langit.

Gemerlap bintang menembus cahaya malam yang gelap dan sunyi. Sambil terus memandangi langit yang berbintang, Rama mulai hanyut dalam suasana damai dan menenangkan itu. Dia melepas seluruh keluh kesahnya kepada alam dan langit malam, sambil tetap menghargai keindahan alam dan ketenangan yang diberikannya.

Ketika Rama sedang memandangi langit, tiba-tiba sebuah bintang jatuh dari langit dan mendarat tidak jauh dari tempatnya berada. Rama, yang penuh dengan rasa ingin tahu, segera berlari menuju tempat dimana bintang itu terjatuh. Ternyata, bintang itu tidak berbentuk batu atau benda besar seperti yang ia bayangkan, melainkan seorang wanita muda yang cantik dengan rambut berwarna perak dan mata yang berkilau seperti permata. Wanita itu terbaring lemah di lapangan hijau, tersungkur setelah jatuh dari langit.

Rama mendekat dan mengulurkan tangannya. Wanita itu tersenyum lemah, dan dengan suara lembut ia meraih tangan Rama sembari mengucapkan terima kasih. Rama dan wanita itu berjalan ke tengah sawah, mendekati saung dengan atap daun jerami dan pondasi dari kayu. Rama menuangkan segelas air dari teko dan memberikannya pada wanita itu.

“Kamu berasal dari mana?” Rama memulai pembicaraan.“Aku Aquila, senang bertemu denganmu. Aku tinggal di atas sana.” Wanita itu menunjukkan
jarinya ke langit malam.“Aku tinggal di sepanjang galaksi bima sakti. Sepertinya aku tersesat saat melintasi alam
semesta.” Sambung Aquila menatap wajah Rama.

Rama terkejut dan bingung, tetapi ia mulai tertarik dan terpesona oleh kehadiran wanita tersebut. Mereka pun mulai berbincang, saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Tanpa sadar, gelapnya malam mulai terlihat sedikit menakutkan.

“Mengapa disini sangat gelap? Hanya ada cahaya bulan yang bersinar,” tanya Aquila dengan alis mengerut.
“Desa ini sudah lama tidak ada penerangan. Kami hanya mengandalkan cahaya matahari, bulan, dan bintang sebagai penerang sehari-hari,” ucap Rama sembari memandang hamparan sawah yang sebentar lagi akan dipanen.

Rama merasa terpikat oleh kebaikan hati dan keanggunan wanita itu. Dia merasa bahwa ada ikatan yang kuat antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan di tengah sawah yang sunyi.

“Hmm, maukah kamu menginap di rumahku? Kebetulan aku sedang memasak hidangan lezat
di dapur.” Rama bangun dari duduknya dan mengulurkan tangan kepada wanita itu.

Suasana gelap malam yang sunyi disambut berbagai suara burung dan serangga. Gubuk berbahan dasar anyaman rotan dan atap jerami berdiri kokoh tepat di tepi sawah tidak jauh dari saung yang berada di tengah sawah. Rama menyiapkan piring dan gelas di atas mejamakan kayu yang sudah rapuh dimakan rayap. Aquila duduk menatap Rama yang sedang menuangkan kuah sup di wadah cekung. Malam itu bagaikan malam yang hangat sambil
menyantap sup kaldu ayam.
****
Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala, cahaya kuning keemasan menyinari hamparan sawah yang hijau. Udara segar pagi menyapa wajah dengan lembut, memberikan aroma tanah basah yang menenangkan setelah malam yang sejuk.Langit pagi yang masih dipenuhi warna-warna lembut senja memberikan latar belakang yang indah bagi awal hari yang baru. Di kejauhan, gunung-gunung yang menjulang tampak terhampar di antara awan-awan tipis, menambah keindahan panorama alam yang memukau.

Di sawah-sawah yang luas, petani-petani mulai aktif. Mereka bergerak dengan lincah, membawa peralatan mereka sambil bernyanyi kecil, menyambut pagi dengan semangat yang tinggi. Beberapa burung berkicau riang di atas pohon-pohon, menyambut datangnya pagi dengan lagu-lagu mereka yang merdu.

Rama membawa cangkul di atas pundaknya dengan kaos putih panjang dan celana hitam setinggi lutut yang dipakainya. Rama memulai membajak tanah untuk menghasilkan tanah yang subur dan gembur. Aquila memandang Rama dari kejauhan di bawah pohon rindang, menutupi rambutnya dengan kain coklat agar tidak terlihat aneh dengan rambut peraknya. Sesekali Rama melihat Aquila memberikan senyuman manis kepadanya.

Matahari semakin condong ke arah barat. Cahaya oranye kemerahan melukiskan goresan indah di langit. Burung-burung terbang rendah menuju sarangnya. Petani-petani di sawah menghentikan aktivitasnya dan kembali ke rumah masing-masing. Seluruh desa menjadi sangat gelap, cahaya matahari tidak terlihat lagi. Rama duduk di pinggir sungai memandang jauh di antara hamparan padi. Rama menyentuh segarnya air yang melewati sela-sela jari kakinya. Tiba-tiba pundaknya terasa ada tangan yang sedang menyentuhnya.

“Rama, hari mulai malam. Masihkah kamu memandang langit gelap itu? Sebaiknya pulang saja.” Aquila menyentuh pundak Rama.
“Iya, kau benar. Jika sudah malam, sebaiknya kita kembali kerumah. Namun ini caraku meluapkan keluh kesahku dengan menatap gemerlap bintang di langit. Namun malam tanpa bintang hanyalah sia-sia. Lihatlah, hanya ada cahaya bulan yang disana.” Rama menunjuk jari telunjuknya ke arah langit.
“B..bagaimana bisa? Kemana bintang-bintang itu menghilang?” Aquila menengadahkan wajahnya ke atas.
“Aku juga tidak tahu, mungkin saja tertutup awan gelap dilangit.” Rama menundukkan wajahnya seolah menyembunyikan kesedihannya.

Tanpa pikir panjang, Aquila berlari meninggalkan Rama dan menerobos hutan, menuju puncak gunung Sentawang. Sesampainya disana, Aquila mengangkat tangannya, mencoba meraih langit-langit dari jauh, namun tidak bisa. Rama dengan lamunannya yang berlarut-larut menenangkan diri dengan membasuh wajahnya dengan air mengalir. Tersadar, Aquila telah menghilang dari sisinya. Mungkin saja dia sudah tidur di rumah, pikirnya.

Rama kembali menuju gubuk tapi tidak menjumpai Aquila di sana. Rama berteriak mencari-cari Aquila kesana kemari. Dari puncak gunung terlihat cahaya terang benderang memancar membelah gelapnya malam. Rama dengan wajah terkejut segera berlari menuju puncak. Melewati hutan, melawan arus sungai, dan tibalah di kawah gunung Sentawang. Di dalam kawah yang dalam itu, mendidih air merah menyala dengan panas yang tidak terbayangkan. Rama berkeliling kawah, mencari cahaya yang terang tadi. dan muncullah wanita yang dikenalnya.

“Apa yang sedang kau lakukan disini?” ucap Rama.
“Aku… aku hanya ingin kembali, menjadi cahayamu dilangit. Aku sudah berusaha, tapi semuanya sia-sia.” Aquila mengepalkan kedua tangannya dan meneteskan air dari mata indahnya.
“Selama ini aku bagaikan malam yang gelap, sampai pada akhirnya menemukan seseorang yang menerangi kegelapanku. Tapi sekarang seseorang itu akan pergi, dan aku kembali menjadi malam yang sunyi. Apakah kau akan benar-benar pergi, Aquila?” Rama memegang erat tangan putih Aquila.

“Rama.. kamu bagaikan malam yang gelap tempatku menerangi hidup. Dimana ada kegelapan disitu aku ada. Aku tidak tega melihatmu memandang langit yang gelap tanpa adanya cahaya bintang. Kamu bisa melihatku kapan saja di antara bintang-bintang yang bersinar.” Aquila mengusapkan air mata, menutupi kesedihannya.

“Kau benar, tempatmu bukan disini. Kau harus segera kembali. Cahayamu bukan milikku, tapi milik seluruh kehidupan di alam semesta ini. Kembalilah, aku akan membantumu ke atas sana.” Rama menggendong Aquila di atas kedua tangannya. Dengan penuh keyakinan, Rama melemparkan tubuh Aquila ke atas dengan kuat, sampai menyentuh langit dan hilang dengan sekejap. Aquila terbang melesat menembus langit, melihat Rama dari ketinggian angkasa. Semakin jauh dan semakin tidak terlihat.

Di malam berikutnya, seperti biasa, Rama duduk sendirian di tepi sawah. Aliran air sungai membasahi kakinya. Angin perlahan menghembuskan daun-daun tanaman. Suara serangga membisikkan lembut ke dalam telinga. Langit malam terbentang luas di atas, dipenuhi dengan taburan bintang-bintang yang bersinar dengan indahnya. Rama menatap jauh cahaya yang paling terang tergantung di langit malam. Rama tersenyum melihat cahaya bintang itu. Tidak salah lagi, itu adalah cahaya bintang Aquila.