Dia Yang Hilang
Karya: Adinda Miranda (Anggota UKIM)
“Lagi dan lagi aku terjebak oleh perasaanku sendiri, perasaan serba salahku terhadap dirinya. Coba saja pada hari itu aku tidak menerima kehadirannya di hidupku, mungkin aku tidak akan sepatah hati ini. Dia lelaki yang memenuhi isi pikiranku selama 6 tahun ini,” renungku. Aku tersentak ketika sebuah tangan melingkar dengan lembut di pinggangku, aku pun menoleh dengan senyuman manisku kepadanya. “Ihh…kamu ini ya kebiasaan banget bikin aku kaget tau,” protesku kepadanya. Dia yang mendengarkan keluhanku hanya menampilkan cengerin khaass nya agar aku luluh. Dia pun menggenggam erat tanganku seakan aku bisa kapan saja pergi meninggalkannya. Kami berdua pun berjalan beriringan, langkah demi langkah menelusuri jalanan sepi, hanya tampak beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang.
tess…teess…tess…
Rintik hujan pun mulai berjatuhan membasahi bumi, kini orang orang berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Malam yang sepi kini ditemani oleh rintihan hujan. Aku tersenyum merasakan rambutku kini mulai basah, ku genggam erat tangannya karena aku tahu dia membenci hujan. Akhirnya kita memilih berteduh disebuah toko kecil dipenuhi barang barang antik. Tanpa kusadari genggaman tanganku terlepas dari dia, ku telusuri tiap sudut toko ini dan aku terpana oleh satu barang yang menurut sangat indah dan seakan mengingatkan ku akan sosok dia. Aku pun tersadar jika kini tangan ku tlah melepaskan genggamannya segera aku membalikkan badan menghadap dirinya, tampak kulihat dengan jelas tampang datarnya menatap lurus tajam kearahku. Aku berjalan perlahan kearahnya dengan cengiran karena aku tahu dia sangat kesall saat ini. “hehe….sayang maaff ya tadi aku gak sengaja, kamu sihh diem mulu kan jadinya ketinggalan,” bela diriku. Dia semakin menatap tajam kearahku dan dengan santainya mencubit pipiku hingga merah. Aku meringis akibat cubitannya untung saja pipiku ini gembul jadi sakitnya tidak seberapa, lalu akupun memeluk dirinya sangat erat, karena aku tahu dia tidak akan pernah bisa marah kepadaku. Suara gemericik air pun sudah tak terdengar, kami berdua pun melangkahkan kaki meninggalkan toko antik tersebut. Dia yang senantiasa menggenggam erat tangan ku, menemani setiap langkahku.
Lagi dan lagi senyuman terpatri diwajahku, mungkin orang orang yang melihatku saat ini beranggapan aku gila. Aku tertawa sendiri dan yeaahh aku memang gila, gila karena dia membawa separuh jiwa ku pergi ntah kemana. Aku tentu saja mengikutinya kemana pun, akan tetapi malam ini aku merasakan dirinya sedikit aneh. Tidak biasanya ia mengajak ku keluar hanya sekedar jalan jalan saja, karena aku tahu ia lebih menyukai diam dirumah memeluk diriku seharian. “aaahhh….membayangkan itu membuatku ingin kembali kerumah dan mendekapnya untuk diriku,” batinku. Aku pun tersadar dari anganku dan menghentikan langkahku tak lupa menahan tangannya, “sayanggg kamu aneh banget tapi aku suka hehe happy sekali” ucapku sambil bergelayutan manja kepadanya. Kulihat ia tertawa pelan melihat tingkahku yang lucu. Ia mencium pipi serta keningku tak lupa dengan tatapan lembutnya kepadaku. “Jangan pergi….” lirihku. Tatapanku semakin sendu, aku usap pipinya merasakan jemariku yang hangat bersentuhan dengan pipinya. Aku menggelengkan kepala berusaha membuang pikiran buruk yang selalu hinggap dikepalaku. Ia menatapku dengan tatapan penuh akan cinta, tatapan yang lembut, tatapan yang beribu – ribu kali membuatku semakin jatuh dan jatuh semakin dalam akan pesonanya serta senyuman yang tak pernah pudar dari wajahnya. Aku meremat dadaku merasakan nyeri, “kamu jahat….kamu pergi, aku mohon kembali” ucapku didalam hati. Mataku berkaca-kaca kini lambat laun penglihatanku semakin buram, tanganku seakan meraba sekitarku sampai pada akhirnya akupun tersadar dia tak ada lagi dihadapanku. Air mataku jatuh membasahi pipiku, isakan penuh pilu tak dapat ku hindari, aku meraung sungguh betapa sakit hati ini.
Aku merasa badanku bergoyang seakan ada yang mengguncang, samar-samar aku mendengar teriakan seseorang,”kak….kak….kak…..sadar!!!” ucap seseorang. Akupun menoleh kearahnya dengan perasaan tak karuan, aku takut ia akan marah jika aku terus-menerus mengingat sosok itu. Aku menatapnya sekilas, “maafff…..” lirihku. Ia datang memberi sandaran untuk, “tidak apa-apa kak, tapi aku mohon lupakan abang ya. Aku capek lihat kakak seperti ini setiap hari berharap abang akan pulang kepelukan kakak” bisiknya. Aku menggelengkan kepala, “bagaimana bisa aku melupakannya, dia rumahku, dia separuh jiwaku, dia separuh pikiranku, semua tentang dia berada dalam ragaku.” Batinku berkeceramuk. Aku menghela nafas, aku merutuki kebodohan ku ini. Aku masih saja terbayang-bayang tentangnya, ternyata kepergianmu menbuat hidupku semakin berantakan. Aku tertawa mengingat semua ucapanmu sayang, kamu yang berjanji, kamu yang memohon agar aku tetap bersamamu, akan tetapi kamu yang melanggarnya, kamu pergi meninggalkanku hahaha. Aku menatap langit yang kelam, ku pejamkan mata dan aku memohon kepada Tuhan, “Tuhan tolong bawa kembali ia kepadaku dengan rasa sayang dan cinta yang takkan pernah pudar untukku.” Aku pergi dari tempat itu dan berkata, “Aku menunggumu disini.