Perjalanan Pulang Menuju Ingatan
Karya: Afifah Rahmawati (Anggota UKIM)
Aku berjalan dengan langkah sedikit gontai, menuju salah satu kamar inap di Rumah Sakit Jiwa Cinta Kasih yang sudah sering aku kunjungi. Langkahku berhenti di depan pintu kamar, tanganku meremat plastik berisi buah yang aku bawa. Wajahku yang awalnya sedikit lelah berangsur kuganti senyum lebar. Tanganku terangkat untuk membuka pintu kamar, mataku langsung tertuju pada pria paruh baya yang tengah diam sambil menatap jendela. Aku kembali berjalan, mendekati ayahku yang masih diam tidak berkutik.
“Selamat siang, Ayah!” Sapaku sambil menaruh buah di atas nakas meja samping tempat tidur.
Ayah melirik dengan wajah penuh tanya, tubuhnya berbalik dan menatapku dalam. “Kamu lagi cari ayahmu, ya?” Tanyanya. Sudah sering aku mendengar pertanyaan ini, namun entah mengapa rasanya hatiku masih mencelos mendengarnya.
“Aah… Iya, nih. Saya lagi cari ayah saya. Udah kangen berat soalnya, pengen cepat-cepat ketemu, hehehe.” Jawabku sambil tersenyum lebar. Ayah ikut tersenyum mendengar perkataanku, hingga jawaban selanjutnya membuatku terdiam.
“Beruntung ya Ayahmu punya anak cantik, manis, dan penyayang kayak kamu. Saya udah lama gak ketemu putri saya, jadi kangen juga.” Ujarnya.
Aku masih terdiam sambil menatap buah apel yang sedang aku kupas, hingga tanganku digenggam Ayah. “Saya boleh minta tolong? Kalau ketemu putri saya, tolong bilangin, Ayahnya kangen, suruh dia jenguk saya di sini. Saya mau minta maaf karena gak bisa jaga ibu dia, saya merasa bersalah sekali.” Ujarnya lagi.
Mataku terasa ingin segera mengeluarkan air mata, tatapanku tertuju pada wajah Ayah yang terlihat memelas. Wajah keriputnya, mata sayunya, dan bibir pucatnya, membuatku semakin ingin menangis detik itu juga. Sudah 3 bulan lamanya Ayah masuk Rumah Sakit Jiwa karena penyakit Demensia Alzheimer yang beliau derita. Selama berada di Rumah Sakit ini pula, Ayah sama sekali tidak mengenalku sebagai putrinya. Dan tidak pernah juga membahas aku, Ayah hanya akan membahas ibu yang sudah 10 tahun lalu meninggal dunia.
Kala itu, duniaku terasa semakin runtuh saat tetanggaku menghubungiku mengenai kondisi ayahku yang nekat minum racun tikus. Aku yang tengah merantau di kota yang jauh dengan segera memesan tiket pulang. Penyesalan terbesarku, rasa sakit hati mengenai kepulangan ibu karena kecelakaan saat naik ojek online. Aku marah kepada Ayah saat mengetahui bahwa Ayah menolak menjemput Ibu saat itu. Hidupku diselimuti kekecewaan kala itu membuatku memutuskan untuk merantau jauh, untuk menghindari Ayah.
Setelah 4 tahun lamanya aku meninggalkan kampung halaman, akhirnya aku kembali dan menemui Ayah yang terlihat berantakan kala itu. Setelah ditangani oleh dokter dan rawat inap
selama 1 Minggu, dokter menyarankan untuk membawa Ayah ke Rumah Sakit Jiwa. Saat itu aku marah, aku merasa bahwa dokter tengah mengejek ayahku, seolah mengatakan bahwa Ayah sudah gila. Hingga sesaat aku terdiam saat dokter mengatakan bahwa ini sudah ketiga kali Ayahku masuk UGD karena memakan dan meminum yang seharusnya tidak dimakan dan diminum. Lantas, aku setuju dan mencoba membawa Ayah ke Rumah Sakit Jiwa.
Duniaku benar-benar hancur saat mengetahui tentang penyakit Ayah, terlebih saat Ayah mulai tidak mengenali siapa aku, selalu menganggapku sebagai orang asing, sesekali mengamuk dan mengataiku karena Ayah menganggap bahwa aku hanya mengaku-ngaku sebagai putrinya. Selebihnya, aku terkadang melihat Ayah berbicara sendiri, seolah-olah tengah berbicara dengan Ibu.
Percakapanku dengan ayah berhenti saat perawat memanggil Ayah untuk melakukan terapi. Perawat tersenyum kepadaku sebelum membawa Ayah pergi ke ruangan terapi. Aku mengikuti dari belakang dan melihat Ayah dari kejauhan. 15 menit berlalu aku melihat proses terapi Ayah guna meningkatkan daya ingat Ayah akhirnya selesai. Beruntungnya, meskipun terkadang mengamuk, Ayah selalu patuh dan menurut saat jadwal terapi dan minum obat. Melihat perilaku Ayah, aku teringat dulu saat Ibuku merawat Ayah yang sedang sakit, aku bisa melihat Ayah selalu berusaha untuk segera sembuh, katanya agar bisa cepat-cepat kerja.
Setelah menyelesaikan terapi, Ayah diantar menuju ruang kumpul bersama para pasien lain.
Aku mengekor di belakang, sampai Ayah berhenti dan menoleh kepadaku
“Sus, tolong bantu dia, katanya lagi cari Ayahnya, kangen katanya. Kasihan dia, siapa tahu Ayahnya juga kangen.” Ujar Ayahku. Aku terdiam mendengar perkataan Ayah, dan melihat perawat yang tersenyum manis kepadaku.
“Loh, bapak kan Ayahnya dia…. Masak putri secantik dia dilupain, sih? Coba diingat-ingat,” Ujar Perawat itu.
Ayah diam, menatapku dari atas sampai bawah yang berakhir membuatku kikuk. Ayah menggeleng pelan dan menatap perawat lagi. “Putri saya lagi marah sama saya, gak mungkin dia datang, maaf saya kan belum tersampaikan. Tolong bantuin dia ya, Sus.” Ucap Ayahku lagi lalu meninggalkan kami berdua.
Aku berdiri kaku sambil meremas rokku, perawat menatapku yang tengah menahan tangis. Dia menghampiriku lalu mengelus punggungku, “Sabar, ya… Pak Suryo sedang masa pemulihan. Trauma dan rasa bersalahnya masih besar, jadi mohon dimaklumi, ya? Terima kasih juga kamu udah mau sabar merawat Ayah kamu. Kamu putri yang baik, terus berjuang, ya? Semoga harapan kamu segera terpenuhi.”
Harapanku kini hanya semoga Ayah cepat sembuh dan kembali mengingatku.
Hari itu aku kembali ke rumah dengan perasaan kacau. Aku melihat suasana rumah yang kini terasa sepi dan dingin, tidak ada lagi suara cerewet dan suara nyanyian Ayah setiap sore di teras
rumah. Sesak yang aku tahan sejak tadi, kini keluar begitu saja, tangisku terdengar kencang dan menggema di dalam rumah. Aku sendirian, tidak pernah terbayang bahwa hidupku akan kesepian seperti ini. Tidak pernah terbayang bahwa aku akan berjuang sendirian, merawat Ayahku yang bahkan sekarang tidak mengenali siapa aku.
ditengah suara tangisku yang kencang, suara ponselku berdering, tertera nomor kontak dari Rumah Sakit Ayahku. Segera aku mengangkat telepon tersebut, suarapanik terdengar dari sana dan detak jantungku kembali berpacu dua kali lipat saat mendengar bahwa Ayah minum super pel dan sekarang berada di UGD. Dengan segera aku melajukan motor, menuju UGD tempat ayahku ditangani. Sesampainya di sana, dapat aku lihat Ayah tengah terbaring diatas bangsal dengan selang oksigen yang tertempel di hidungnya. Aku menangis sambil menggenggam tangan Ayah, rasa takutku kembali terulang, badanku terasa lemas melihat Ayah yang terbujur lemas di atas bangsal. Mulutku berkali-kali mengucapkan kata maaf dan permohonan supaya Ayah bisa selamat.
Tangan Ayah terangkat membalas genggamanku, aku menatap wajahnya yang terlihat pucat itu. Wajahku yang penuh air mata, membuat Ayah ikut menangis. Tangannya kembali terangkat, menghapus jejak air mataku. Tangisku semakin kencang, berkali-kali aku mencium tangan Ayah, mengucapkan terima kasih karena sudah sadar.
“Maafin Ayah, ya….” Ucapnya dengan nada lemah. Aku menggelengkan kepala dengan kuat
“Enggak… Ayu yang minta maaf, maaf Ayu udah ninggalin Ayah, Maaf Ayu biarin ayah sendirian, Maafin ayu udah bikin ayah sakit, maafin Ayu, ya?” Kataku dengan nafas tersenggal.
Ayah kembali menghapus air mataku, terlihat Ayah juga ikut menangis, air matanya mengalir deras hingga membasahi bantal.
“Jangan tinggalin Ayah lagi, ya? Ayah bingung kalau sendirian… Ayah mau berjuang buat lawan sakitnya Ayah, tapi Ayu tolong temenin Ayah, ya?” Ujar Ayah lagi. Aku mengangguk, lalu memeluk Ayah erat.
Setelah hari itu, seperti biasa aku menjenguk Ayah dan membelikan buah kesukaan Ayah, menemani Ayah terapi dan belajar bersama. Hingga Kondisi Ayah mulai membaik dan mulai bisa mengenali aku dan teman-teman pasien yang lain. Ayah juga kembali belajar membaca dan menulis, juga hal-hal yang lain untuk melatih daya ingatnya. Beberapa kali aku merasa kewalahan dengan sikap Ayah yang terkadang berontak, namun untungnya aku bisa mengatasi, aku cukup melakukan apa yang Ibu dan Ayah lakukan saat aku berontak waktu kecil dulu.
Sampai hari itu tiba, Ayah sudah boleh pulang dan melakukan pengobatan rawat jalan saja, sesekali perlu kontrol mengenai kondisi Ayah. Sore itu, Ayah kembali duduk di teras rumah dan kembali bernyanyi seperti dulu. Hatiku merasa hangat mendengar suara merdu Ayah, aku berjalan menuju teras dengan camilan dan juga teh hangat. Sore itu sangat indah, ditemani
langit senja dan juga suara nyanyian Ayah, andai Ibu disini juga, mungkin sore hari terasa lebih hangat lagi.
“Ayu, Ayah mau bilang, makasih ya Ayu udah maafin Ayah dan sabar ngerawat Ayah. Makasih Ayu udah mau berjuang untuk kesembuhan Ayah, dan terima kasih juga doa-doa dari Ayu yang bikin Ayah bisa sembuh. “ Tutur Ayah sore itu. Air mataku seolah ingin keluar, namun aku tahan sebisa mungkin dan balas tersenyum.
“Ayu juga makasih, karena Ayah sudah jadi Ayah Ayu. “ Jawabku sambil menatap wajah Ayah yang masih sedikit pucat. Sore itu berlanjut dengan cerita-cerita Ayah, dan candaan bapak- bapak yang sukses membuatku tertawa kencang. Aku harap, hari hari selanjutnya tetap begini, selalu bahagia, bersama Ayah.