Leak
Karya: Hanunah Ayesya (Anggota UKIM)
Mentari mulai menampakkan rupanya, suara ayam berkokok menjadi tanda datangnya hari yang baru. Para warga Desa Panglipuran mulai bangun dari tidur, beberapa bahkan sudah ada yang pergi menuju sawah atau mendorong gerobak jualannya. Belum lama kemudian, bisik gosip Ibu-ibu sekitar sudah terdengar jelas ketika mereka membeli bahan makanan di gerobak jualan favorit, bapak penjual yang mendengarnya hanya bisa geleng geleng kepala sambil berusaha melayani sebisa mungkin.
“Itu ceritanya terbalik dengan keluarga Mbok Astika… mereka baru punya bayi setelah papat tahun wiwaha” Ungkit Ibu yang sedang memilih kue untuk anaknya
“Iya tah? Mungkin terkena kutukan, masa baru dapet bayi setelah empat tahun” Ibu lainnya membalas
“Loh tidak bohong saya,”
“Takut sama Leak mungkin ya bu,” tambah Ibu lainnya yang sudah selesai membeli
“Hiyyy, saya juga takut kalau begitu mah, si Mbok Priya kemarin kelihatan satu di sawah bu,” Ibu pertama membalas
“Wah bener? Hiyyy…takut eh Mbok, sekarang juga masih pagi”
“Katanya lidahnya panjang sampai ke dadanya, terus kukunya tajam sekali, matanya juga mbok… merah semerah darah” Jelas Ibu tersebut dengan ketakutan.
Aku lewat sambil menundukkan kepala, berharap mereka tidak menyadari bahwa objek gosip mereka sedang berjalan dibelakang mereka sedari tadi. Aku harus segera pulang, Aji dan suamiku selalu cemas kalau aku yang sedang hamil ini berjalan jalan sendirian. Ku elus perutku dengan penuh kasih, akhirnya setelah empat tahun menikah, Dewa menganugrahi pernikahan kami dengan sebuah janin yang sekarang telah berumur 5 bulan.
“Gek pulang…” ucapku sambil memasuki komplek rumah
“Matur suksma dewa…gimana gek? Tidak apa apa kan? Gek pusing? Butuh minum? Butuh duduk?” Suamiku, I Made Anuraga, langsung memapahku kedalam
“Gek tidak apa apa Bli… hanya butuh minum. Ayo bantu Biang masak”
Suamiku mengangguk dengan senyum sambil terus memastikan aku baik baik saja.
Sejak di awal kehamilan, rumah kami menjadi penuh dengan berbagai macam penolak ilmu hitam: daun kelor digantung di tiap kenop pintu, bawang dan garam terjejer dibawah tempat tidurku, pisang kembar di tiap ruangan, dan Biang selalu mengingatkanku untuk mandi bunga seminggu sekali.
Setelah selesai memasak, aku memanggil Aji untuk sarapan bersama, lalu kami melanjutkan aktivitas masing masing sampai matahari terbenam. Setelah semua pekerjaanku selesai, aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan tidur lebih cepat tanpa Bli, dia bilang akan pulang terlambat karena ada urusan tambahan dengan warga desa sebelah. Ibu dan ayah tampaknya juga sedang bersiap siap untuk tidur. Aku mencoba berkeliling kamar sekali lagi untuk memastikan semua penolak bala sudah benar sesuai petunjuknya.
“Aduh…daun kelornya layu…,” kataku sambil memegang kenop pintu, “Biasanya Bli akan keluar dan mengganti daun kelor ini, tapi dia belum pulang…,”
Daun kelor ini digantung di kenop pintu agar orang di dalam ruangan itu tidak diganggu makhluk halus atau ilmu hitam, daun kelor yang digantung harus berjumlah ganjil, tetapi yang ada di tanganku sekarang berjumlah 4 batang. Tidak mau ambil resiko, aku keluar dari kamar dan berjalan menuju gerbang belakang yang mengarah ke kebun sayur, matahari belum lama tenggelam sehingga masih ada sedikit cahaya untuk menemaniku, obor disekitar juga menyala dengan terang.
“Gek ambil tiga sekalian mungkin ya,” kataku sambil mencabut tiga batang kelor
“Awoooooooo” lolongan anjing tiba tiba terdengar, aku menelan ludah
Setelah mendapat yang kubutuhkan, aku cepat cepat berdiri dan mulai berjalan. Namun sebelum aku bisa mencapai gerbang belakang, perutku mulai merasakan sakit.
Aku bersandar pada pohon kelapa, berusaha menenangkan janin didalam. Mataku menangkap sesuatu, enam langkah didepanku, bayangan tanpa kaki, melayang diatas tanah, kukunya panjang menjuntai, ditemani dengan rambut putih dan mata merah. Aku tertegun, menelan ludah dan mempererat peganganku pada perut. Leak, pemuja ilmu hitam yang mengincar janin ataupun bayi baru lahir untuk dimakan agar kekuatan mereka bertambah, Leak itu menatapku sambil tertawa
“Terima kasih sudah keluar dari segala perlindungan rumahmu,” suaranya terdengar cempreng dan mengejek
Aku memutar otak, Biang pernah berkata kalau Leak bisa diserang menggunakan benda tajam, meskipun hanya akan berefek sementara. Dengan bercucuran keringat dingin aku meraih pisau yang tergeletak di tanah, tadi pagi Biang menggunakannya untuk memotong sayuran.
Leak itu mendekat dengan cepat, satu kedipan mata dan aku sudah bisa merasakan nafasnya. Dengan cepat aku menusuk organnya yang menjuntai menggunakan pisau, Leak itu berteriak keras, lalu menghilang dengan cepat. Aku mengehela nafas dan berniat kembali ke rumah, tapi disekelilingku malah pepohonan tinggi yang terlihat. Panik, aku berlari sambil berteriak meminta tolong, Leak itu akan kembali, cepat atau lambat.
“Kamu dan bayimu aman untuk sekarang Astika” ada suara lagi, namun kali ini terdengar seperti suara kakek tua
“Siapa itu?Tunjukkan dirimu!” Aku berteriak sambil mengacungkan pisau
Sesosok manusia melompat turun dari pepohonan, aku mengenali wajahnya, “Mpu Baradah?!”
“Ya, ini aku Gek Astika, akan ku antar kamu pulang” Beliau tersenyum tipis dan mulai berjalan
“Matur Suksma Mpu,” Aku berjalan disampingnya, “Bagaimana Mpu bisa tau Gek butuh pertolongan?”
“Lolongan anjing itu, berarti ada Leak yang berkeliaran” Mpu menjawab dengan singkat
Aku merasa bodoh untuk sesaat, harusnya aku tau lolongan anjing berarti ada makhluk halus yang berkeliaran, dan sekarang aku malah merepotkan Mpu.
“Bli, Aji, dan Biang pasti sangat khawatir-“
Belum sempat aku selesai berbicara, Mpu Baradah menahan langkahku. Lalu beliau berkata perlahan, “Astika, ambil keris ini,” kata Mpu sambil mengeluarkan keris dari jubahnya,
“Ucapkan mantra perlindungan, pergi ke setra, cari tubuh asli Leak, lalu tusuk keris ini ke dalam lehernya”
Setelah itu Mpu langsung melompat ke atas pohon, sepertinya akan terjadi pertempuran hebat antara Mpu Baradah dan Leak. Melihat hal itu, aku ikut berlari ke arah setra yang jaraknya cukup jauh.
Leak tidak senang, dia marah. Harusnya malam ini dia bisa menyantap sebuah janin dengan mudah, tapi Mpu datang entah darimana. Leak menyerang Mpu Baradah berulang kali, berusaha mencakarnya dengan kuku setajam silet, Mpu Baradah mengelak, dan balas menyerang dengan kekuatannya. Pertarungan ini hanya pengalih perhatian, Mpu Baradah hanya perlu bertarung sampai Astika berhasil menusuk tubuh asli si Leak.
Aku hampir sampai di setra, tubuhku yang buncit tidak memungkinkan berlari terlalu lama sehingga beberapa kali aku harus berhenti dan mengambil nafas, kuharap Mpu Baradah baik baik saja. Tidak lupa pula sepanjang perjalanan aku berkomat kamit mantra perlindungan, agar dilindungi dari ilmu hitam yang lain, dan, agar keris ini menjadi suci ketika dipakai untuk membunuh Leak.
Gerbang setra sudah terlihat, tapi kemudian teriakan Leak menghentikan langkahku. Aku tertegun, kini Leak ada diantara aku dan setra, memegang tangan kiri Mpu Baradah. Ketakutan, aku berjalan mundur kebelakang sambil mengacungkan keris, Leak mendekatiku dan melempar keris itu jauh jauh. Aku bisa saja lari jika perutku tidak tiba tiba serasa dililit, sekarang Leak sudah memeluk tubuhku dan mengangkatku keatas. Aku mencoba berteriak tapi suaraku tidak keluar, Leak mengunci pergerakanku, lalu sedikit demi sedikit aku kehilangan kesadaran.
“Hihi….hihihihi…hihihihihi, terimalah persembahan ini…dewiku”
Aku terbangun, Bli terduduk menangis di sebelahku, sementara Aji dan Biang memegang tanganku yang lain. Sepertinya setelah kejadian malam kemarin, seorang warga menemukanku dan membawaku pulang, sementara Mpu Baradah ditemukan dengan 100 luka cakar dan tangan kiri yang menghilang, sekarang beliau sedang dirawat di rumah tabib desa.
Hari itu rumah benar benar sunyi senyap, bahkan suara hewan atau hembusan angin tidak dapat terdengar. Berita menyebar dengan cepat dan aku yakin keluarga kami sudah menjadi bahan pembicaraan Ibu-Ibu. Bli duduk di teras belakang bersamaku, memegang erat tanganku tanpa henti sambil mengusapnya perlahan, Bli menangis, kedua orang tuaku menangis, sedang aku hanya termenung, pikiranku kosong, hanya berisi memori kejadian semalam yang terus menerus terulang, semakin jelas ingatanku, semakin aku merasa tidak berdaya.
“Gek masuk dulu Bli,” kataku lirih
Aku berjalan ke ruang tengah, tempat Biang biasanya membuat sesajen. Aku hendak membuat sesajen jenis banten upakara, sesajen yang dibutuhkan dalam kegiatan ngereh. Setelah selesai, aku pergi menuju kuburan desa, sepanjang perjalanan banyak mata dan mulut yang berfokus padaku, baik itu ucapan kasihan atau ketakutan.
Bli ikut bersamaku dan kami pun tiba di pohon keramat di tengah tengah pemakaman, kami mulai menyiapkan ritual. Ritual yang akan diikuti dengan pantangan, puasa, dan persembahan. Ritual Pengleakan, aku akan menjadi Leak, Leak Putih yang bisa menjaga janin lain dari Leak teramat jahat itu. Setidaknya dengan begitu, aku bisa membayar penyesalan kepada roh anakku yang sudah dipersembahkan.