Indonesia sedang menghadapi kondisi gawat darurat anak. Mulai dari kekerasan fisik, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan tindakan kriminal lain yang memberikan pengaruh negatif bagi kondisi kejiwaan anak. Ditinjau dari data kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Angka kekerasan terhadap anak semakin tinggi di masa pandemi COVID-19. Data laporan pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) hingga 23 Juli 2021 terdapat 5463 kasus kekerasan terhadap anak.
Anak adalah aset bangsa sebagai generasi penerus bangsa. Anak merupakan investasi keluarga. Untuk mencapainya, anak perlu memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang. Anak perlu bermain, punya teman, lingkungan yang baik serta mendukung, sekolah, dan hal lainnya. Tentu setiap kesempatan mendapatkan akses setiap ruang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yang optimal. Jika mendapatkan perlakuan yang baik maka anak akan bertumbuh dengan baik dengan optimal sehingga akan menjadi generasi penerus bangsa yang berintegritas, fisik baik, mental baik, social, perilaku baik, maupun spiritual.
Dalam praktiknya begitu banyak terjadi kesalahan pola asuh anak yang secara sadar orang tua menjadikan dirinya sebagai sosok yang harus dipatuhi, sehingga menimbulkan pola didik otoriter. Keluarga menjadi peran utama dan tempat pertama kali anak belajar mengenal peraturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Jika anak tidak mendapatkan pola asuh yang baik dalam tumbuk kembangnya, anak-anak tidak akan bisa menjadi generasi penerus bangsa yang optimal sehingga lahirlah generasi yang kurang baik pula. Seperti pada kasus yang menggegerkan masyarakat Indonesia baru-baru ini yaitu kasus pemerkosaan tiga anak di Luwuh Timur yang dilakukan oleh ayah kandungnya. Betapa mirisnya ketika pelaku kejahatan ada dalam lingkup keluarga satu atap dan satu darah. Dimanakah bentuk perlindungan didapatkan?. Ibu korban melaporkan kasus ini ke polisi dengan harapan mendapatkan keadilan. Alih-alih mendapatkan harapan itu kasus justru diberhentikan. Selain itu korban terintimidasi dengan dugaan ketidak berpihakan aparat pada korban. Kisah ini pun mendapatkan berbagai respon dari masyarakat yang diikuti dengan ramainya tagar #PercumaLaporPolisi di berbagai platform social media. Mengapa kasus ini dihentikan begitu saja? Apakah pemerintah sudah tidak mampu dan tidak serius menangani perkara demi perkara laporan kekerasan seksual pada anak?
Sudahkah Optimal Upaya Penanganan Kekerasan Seksual Pada Anak di Indonesia?
Melihat dari banyaknya kasus kekerasan seksual anak di Indonesia, telah menyadarkan bahwa perlindungan anak di Indonesia sangat memprihatinkan. Pemerintah Indonesia perlu lebih bersungguh-sungguh melindungi hak anak-anak sebagaimana yang tercantum pada UU Nomor 23 Tahun 2002 dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Indonesia tidak boleh lupa bahwa ada ribuan anak mengalami kasus kekerasan yang amat tragis juga tidak manusiawi yang telah diperbuat oleh manusia-manusia tidak bertanggung jawab. Proses hukum harus terus berjalan dengan baik. Idealnya, polisi dan pemerintah menjadi garda terdepan penegakan hukum yang membantu korban kekerasan seksual anak untuk mendapatkan hak-haknya. Namun, realitanya masih kerap jauh dari harapan ini. Kembali pada kasus di Luwu Timur, banyaknya tagar #PercumaLaporPolisi menggambarkan bahwa begitu lemahnya polisi dalam menangani laporan kasus tersebut. Tagar itu menunjukkan bentuk kekecewaan, ketidakpuasan, dan ketidak percayaan. Bahkan ditinjau dari indeks akses terhadap keadilan di Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa 38 persen masyarakat Indonesia yang mengalami masalah hukum lebih memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah hukumnya. Mereka takut dan khawatir jika melapor, masalah yang dihadapi akan semakin rumit. Yang lebih menarik 60% masyarakat yang ingin melapor masalah hukum lebih memilih untuk melaporkannya pada pihak non-negara dengan alasan beragam yang mayoritas mereka takut, malu, dan tidak tahu harus berbuat apa juga tidak tahu harus melapor kemana.
Tentu ini menjadi PR dan tanggung jawab bagi pemerintah, sayangnya mekanisme pelaporan yang disediakan untuk penanganan belum didukung perspektif perlindungan korban yang baik dari beberapa penanganan polisi. Justru yang seringkali dialami korban harus menghadapi pertanyaan yang menyudutkan, melecehkan, tidak berempati. Wajar jika korban lebih memilih pada organisasi-organisasi yang jelas lebih profesional dan yang pasti akan lebih nyaman, menjamin keselamatan, tidak menghakimi, dan melindungi korban tanpa mengintimidasi. Selain itu dalam menangani kasus kekerasan seksual anak polisi sebagai aparat hukum negara perlu menelaah dengan teliti kasus yang ditangani, memperhatikan kondisi fisik dan psikis korban, memberikan pendampingan psikolog hingga sosial untuk korban. Indonesia seharusnya memberikan pelayanan lebih baik untuk melindungi korban. Salah satunya dengan bentuk pembuktian kejahatan tanpa prosedur yang berbelit-belit. Lebih sederhana dan mudah bagi para korban. Penyelidik harusnya juga memastikan setiap kasus yang diberhentikan apakah memang sudah tuntas. Artinya setiap kasus apakah benar-benar selesai atau diselesaikan begitu saja.
Memang polisi dan penyelidik akan menyelidiki dan melanjutkan kasus perlu adanya bukti-bukti yang memperkuat. Proses penyidikan pun semua pertanyaan yang ditanyakan untuk mengungkap fakta. Ketika tidak ditemukan cukup bukti sepanjang proses penyelidikan maka penyidik akan menghentikanya dan menutup kasus begitu saja. Dengan kejadian ini korban biasanya melapor ke organisasi non pemerintah untuk meminta perlindungan dan menyuarakan. Ketika disuarakan di media sosial hingga viral justru seringkali korban didiskriminalisasi oleh pelaku dengan pelaporan pasal karet UU ITE. Bagi korban ini hal rumit karena mencari kemana bukti rekaman yang kuat karena saat kejadian tidak mungkin korban dapat merekam sendiri pelecehan yang dialaminya. Kira-kita terdapat rantai setan UU ITE sebagai berikut :
- Korban pelecehan seksual melaporkan tanpa bukti yang kuat
- Polisi tidak menggubris atau menindak pelaku dan terkesan menyepelekan perkara
- Korban menyampaikan kasus pada organisasi atau lembaga non pemerintah hingga kasus diangkat ke media sosial dan viral di masyarakat luas
- Pelaku melaporkan korban atas tuduhan pencemaran nama baik melalui UU ITE
Polemik RUU PKS Tak Kunjung Disahkan
Sudah sekitar sewindu Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil berusaha mengusulkan payung hukum untuk menangani perlindungan kasus pelecehan seksual. Sejak 2014-2019, proses pembahasan RUU PKS berhenti di pembahasan tingkat I dan dinyatakan tidak carry over. Saat ini RUU PKS kembali masuk prolegnas prioritas 2021. RUU PKS selama ini tidak segera disahkan karena mengalami beberapa revisi dan perubahan. Singkatnya yang terbaru terdapat perubahan judul, tak hanya itu terdapat pasal-pasal penting yang juga diubah. Dari 128 pasal yang ada dalam draf RUU PKS versi masyarakat sipil per September 2020, hanya ada 43 pasal versi Baleg. Jenis tindak pidana seksual yang dijabarkan tadinya berjumlah 9 diganti menjadi hanya 4 saja. Dalam draf RUU PKS versi Baleg salah satu bab dihilangkan yang terkait dengan hak-hak korban. Sekalipun disinggung hanya 1 bagian yang memuatnya. Tidak ada aturan terperinci tentang hak-hak korban akan mempersulit mereka dalam mendapatkan perlindungan dan pemulihan.
Apakan Pemerintah Sudah Optimal Menangani Kasus Kekerasan Seksual Anak di Indonesia?
Berkaca pada kasus yang telah dipaparkan. Adanya rantai setan UU ITE yang membuat tindakan korban disalahkan. Penanganan dengan pertanyaan yang mencecer dan tidak nyaman. Penyelidikan yang memerlukan bukti berbelit-belit. Korban yang terintimidasi. RUU PKS yang tak kunjung disahkan selama beberapa periode. Banyaknya kasus yang tidak selesai atau diberhentikan begitu saja. Banyak korban kekerasan seksual anak yang menunggu keadilan, menunggu kepastian hukum yang tak kunjung selesai, tidak tahu pasti kapan kabar baik akan datang. Sudah cukup sering pemerintah seperti memberikan harapan palsu pada korban kekerasan seksual. Dan justru melancarkan jalannya pelaku memberi kesempatan kedua untuk kembali melakukan tindakan yang tak senonoh. Banyak kasus yang berujung mengkriminalisasi korban dengan UU ITE. Mau sampai kapan hal ini terjadi di negeri ini?