Haruskah Perempuan Menutup Bagian Tubuh Tertentu untuk Melindungi Diri? [Kajian Aktivis]

Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikulturalisme, yang tumbuh berdasarkan konstruksi sosial daerahnya masing-masing. Beberapa daerah di Indonesia memiliki tata cara berpakaian tersendiri. Oleh karena itu, dengan memberikan batasan bagaimana perempuan harus berpakaian, bukankah sama halnya dengan membatasi masyarakat untuk mempertahankan tradisi turun-temurun dari leluhurnya?

UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 4 menyatakan adanya hak kebebasan pribadi yang merupakan indikasi bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupannya sesuai dengan caranya masing-masing, termasuk dalam hal berpakaian. Selain itu, dalam ideologi pancasila telah diatur sikap saling menghargai antar sesama manusia yang merupakan implementasi dari butir sila kedua. Sehubungan dengan hal tersebut, tindakan untuk membatasi cara berpakaian seseorang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan ideologi Pancasila.

Perempuan selalu dikelilingi oleh stigma-stigma masyarakat yang bersifat mengekang, salah satunya dalam hal berpakaian. Pakaian perempuan yang terbuka sering dikaitkan dengan hal- hal yang negatif. Padahal, penampilan tidak dapat merepresentasikan karakter seseorang. Oleh karena itu, menilai seseorang hanya berdasarkan cara mereka berpakaian bukanlah hal yang benar. Untuk itu, orientasi perempuan dalam berpakaian tidak seharusnya semata-mata untuk melindungi dirinya dari stigma masyarakat. Namun, sistem sosial yang berlaku menuntut kaum perempuan untuk tunduk terhadap stigma masyarakat.

Meninjau fakta di lapangan, di Indonesia sendiri kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan menunjukkan peningkatan yang signifikan setiap tahunnya. Dalam hal ini, hampir seluruh ancaman yang dialami oleh kaum perempuan seringkali dikaitkan dengan cara berpakaian mereka, yang mana seharusnya hal tersebut merupakan hak pribadi mereka. Dengan membatasi ekspresi berpakaian wanita justru akan membenarkan tindakan pelecehan yang terjadi pada korban tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa cara penanganan terkait masalah pelecehan seksual kurang ditargetkan. Meskipun ekspresi berpakaian wanita dibatasi, tingkah laku dan pola pikir korban akan tetap sama serta tidak terjadi perubahan konstruktif. Hal ini mengakibatkan masalah ini akan terus berulang bahkan dapat mengalami peningkatan yang signifikan. Di samping itu, patriarki yang masih mengakar kuat di kalangan masyarakat juga turut memberikan kontribusi dalam peningkatan kasus pelecehan seksual di Indonesia. Hal ini tentunya akan berdampak pada proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah karena pada hakikatnya setiap pengambilan keputusan selalu didasarkan pada sistem sosial yang berlaku di masyarakat.

Membandingkan dengan skenario dimana hak berekspresi merupakan pilihan yang dihargai, maka akan muncul mekanisme pembantu dari pihak yang berwenang seperti pemerintah dan organisasi non pemerintah, atau Non-Government Organization (NGO) yang akan memberikan pemahaman baru tentang nilai menghormati dan menghargai perempuan bahwa perempuan lebih dari sekadar objek. Sebagai contoh, kegiatan seperti sosialisasi akan mulai banyak dilakukan sehingga masalah akan mulai dilihat dan ruang diskusi masyarakat akan semakin luas terbuka. Dengan masalah yang sudah disorot oleh masyarakat luas, maka akan lebih mudah untuk melakukan perubahan di tingkat lanjut, seperti hukum, dengan menciptakan atau meloloskan peraturan yang bersifat memberdayakan perempuan (woman friendly). Seperti RUU PKS yang tengah menjadi kontroversi sampai saat ini. Padahal, RUU PKS ini mengandung substansi yang baik bagi kesetaraan gender di Indonesia.


Oleh : Tim Kontra 1 Kajian Aktivis Season 1 (Ulynnuha Aulia, dkk.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *