Fenomena Teknologi dan Internet
Kemajuan teknologi berkembang begitu pesat. Mulai dari teknologi pertanian, teknologi industri, teknologi komunikasi, dan teknologi informasi dan telekomunikasi. Perkembangan ini membawa dampak yang signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua pemenuhan kebutuhan manusia mulai terpenuhi secara praktis dan efisien sehingga setiap individu bisa merasakan perubahan. Tak terkecuali, di Indonesia. Perkembangan teknologi begitu terasa bagi masyarakat, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Tak hanya pejabat atau yang berpenghasilan tinggi yang bisa merasakan perkembangan teknologi, akan tetapi rakyat jelata pun dapat merasakannya. Tak heran, jika Indonesia merupakan negara sasaran bagi para pebisnis terutama di bidang teknologi dan informasi. Hal ini dapat terlihat dalam jumlah pengguna internet di Indonesia hingga kuartal II 2020 mencapai 196,7 juta orang, yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yakni tahun 2018 yang hanya mencapai 171,2 juta orang. Namun, tidak menutup kemungkinan dengan jumlah yang begitu banyak dari pengguna internet di Indonesia, masuknya pengaruh dari luar masuk ke dalam tatanan masyarakat bangsa bukanlah suatu hal yang mustahil, melihat arus globalisasi yang terus berkembang tanpa henti. Perkembangan tersebut bisa berdampak positif ataupun negatif tergantung dari setiap individu. Jika dapat memfilter dan memanfaatkannya secara maksimal dan sejauh tidak menyimpang dari aturan yang berlaku, berdampak positif. Sebaliknya, jika tidak dapat memfilter dan memanfaatkannya dalam hal penyimpangan maka akan berdampak negatif. Penggunaan internet di Indonesia yang jumlahnya begitu banyak didominasi oleh pengguna smartphone, yang mencapai 100 juta orang per 2018. Jumlah tersebut terus meningkat, terlebih lagi di era pandemi ini. Semua kegiatan dialih fungsikan secara daring. Bahkan diprediksi pengguna smartphone di Indonesia mencapai 89 % dari total jumlah penduduk Indonesia. Hal ini merupakan suatu potensi dan bagi para developer aplikasi dalam mengembangkan bisnisnya.
Aplikasi TikTok : Bisnis atau Kolonialis Psikologis ?
Belakangan ini masyarakat dunia bahkan Indonesia dihebohkan dengan munculnya platform hiburan yang berisikan video singkat, yakni TikTok. Keberadaan TikTok begitu mencuat di kalangan masyarakat dalam satu tahun terakhir di awal tahun 2020. Dilihat di kuartal I 2020 aplikasi TikTok milik ByteDance telah diunduh lebih dari 2 miliar kali per tiga bulan pertama secara global. Hal tersebut merupakan jumlah yang begitu banyak. Dan akan terus meningkat seiring di era pandemi ini
karena konsumen semakin tertarik menggunakan perangkat seluler khususnya smartphone dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti belanja, belajar, ataupun menemukan suatu hal yang baru. Jika dilihat dari aspek ekonomi, kemunculan TikTok merupakan hal yang mengejutkan bagi perusahaan-perusahaan teknologi ternama seperti Microsoft. Yang sebelumnya merupakan leader perusahaan teknologi di dunia. TikTok merupakan artificial intelligence yang memacu adrenalin anak di bawah 25 tahun yang dipelajari sejak tiga tahun sebelumnya secara mendalam sebelum membuat aplikasi selama dua tahun sebelum diluncurkan dua tahun yang lalu. Jadi, selama tujuh tahun perjalanan panjang dari aplikasi TikTok sebelum menghebohkan dunia. TikTok dalam kerjanya mengubah atau dalam bahasa science nya meng engineering minat seseorang. Dalam hal ini, TikTok diciptakan tidak untuk memenuhi pasar seperti prinsip bisnis pada umumnya. Tetapi TikTok diciptakan untuk pasar minatnya diubah sesuai keinginan TikTok. Perusahaan Microsoft pun bingung, kenapa TikTok menerapkan prinsip tersebut dalam berbisnis. Meng Engineering minat seseorang akan berkaitan erat dengan psikologikal. Jika halnya sesuatu tersebut terjadi akan membahayakan penggunanya. Karena manusia nantinya dikendalikan kemana saja sesuai dengan keinginan platform. Padahal dalam prinsip bisnis, seorang pebisnis menciptakan suatu berdasarkan create wants. Menciptakan keinginan berawal dari needs dari sebuah kebutuhan. Misalnya seseorang mahasiswa yang tinggalnya di Lamongan dan menempuh pendidikan di Surabaya. Kebutuhannya adalah alat transportasi. Ketika dia saat ini menggunakan alat transportasi umum dan berkeinginan naik motor. Maka, pebisnis akan berlomba-lomba mengiklankan sebuah motor atau menciptakan motor dengan value tertentu. Misalnya jika perusahaan Honda. Maka, pebisnis tersebut meng advertisement kan naik motor Honda adalah yang terbaik, dan begitu seterusnya sesuai dengan perusahaannya. Pebisnis akan saling bersaing memenuhi keinginan calon konsumen atau wants nya mereka. Pebisnis tidak bisa menciptakan create needs. Needs nya ada terlebih dahulu baru pebisnis bisa menciptakan want. Akan tetapi TikTok menciptakan demand, menciptakan needs dengan di desain secara artificial intelligence. Jika digunakan selama berjam-jam, data pengguna akan dimiliki oleh platform, bukan berupa data nama, e-mail, tempat rumah, tanggal lahir yang sudah tidak dibutuhkan lagi di era globalisasi, melainkan data psikologikal faktor nya seperti minat, passion, cita-cita, harapan, cinta, fokus, impian, kesukaan, kemarahan dan yang lainnya yang berhubungan dengan psikologis manusia. Oleh karena itu, banyak negara menganggap TikTok sebuah alat intelijen sehingga memblokir aplikasi tersebut. Namun, hal ini terjadi sebaliknya di Indonesia. TikTok dibiarkan berkembang menjalankan bisnisnya yang “kolonial”. Menjajah tanpa diketahui oleh pejabat negara bahkan masyarakat Indonesia sendiri. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, generasi milenial bangsa akan menjadi sasaran “empuk” bagi mereka. Nilai-nilai Pancasila dalam diri generasi milenial perlahan yang tertanam di setiap individu akan memudar begitu saja. Dapat terlihat, banyaknya kemerosotan perilaku generasi milenial akibat dari
“konten” TikTok. Misalnya anak-anak SD yang seharusnya mengenyam pendidikan untuk masa depan, akan tetapi bermain TikTok lebih utama dibandingkan kewajibannya yaitu belajar. Dan perilaku mereka yang sudah “candu” TikTok. Perilaku atau psikologis mereka akan berbeda jauh drastis, tidak terlihat seperti anak yang pada umumnya di umur mereka, namun psikologis mereka sudah terkontaminasi seperti mudah marah-marah ketika berbicara kepada orang tua, mudah sedih yang berlebihan, mudah mengenal cinta yang berlebihan, dan lain sebagainya.
Oleh : Ahmad Dicky Muhaimin
Rujukan
Pratama, A. M., 2020. ”Pengguna Internet Indonesia hingga Kuartal II 2020 Capai 196,7 Juta Orang”. https://amp.kompas.com/money/read/2020/11/09/213534626/pen gguna-internet-indonesia-hingga-kuartal-ii-2020-capai-1967-juta orang.
Kominfo. 2020. ”Indonesia Raksasa Teknoogi Digital Asia”. https://kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-digital-asia/0/sorotan_media.
Pusparisa, Y. 2020. “ Pengguna Smartphone diperkirakan Mencapai 89% Populasi pada 2025”. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/15/pengguna smartphone-diperkirakan-mencapai-89-populasi-pada-2025.
Pratiwi, W. K., “Indonesia Sumbang Angka Unduhan Tiktok Terbanyak di Dunia”. https://amp.kompas.com/tekno/read/2020/09/11/15010037/indone sia-sumbang-angka-unduhan-tiktok-terbanyak-di-dunia.